Tanpa ada tujuan lain Hadits-Hadits
dibawah ini hanya untuk memotivasi umat islam untuk bercocok tanam. Jangan
khawatir hadits-hadits yang saya sebutkan semuanya shahih dari sumber yang terpercaya. Bagi yang sudah
pernah membaca hadits-hadits dibawah ini anggap saja sebagai bentuk pengingat kembali
buat anda. Bagi yang belum pernah, maka ketahuilah inilah agamamu islam
1. Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu
‘Anhu dia bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ
مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً
وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً
“Tidaklah
seorang muslim menanam suatu pohon melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu
sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai
sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi
sedekah baginya.” (HR.
Imam Muslim Hadits no.1552)
2.
Dari
Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ
أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah
seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/
tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan
menjadi sedekah baginya.” (HR.
Imam Bukhari hadits no.2321)
3.
Dari
Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah
bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
فَلاَ
يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ
طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah
seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang
ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari
kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits
no.1552(10))
Syaikh
Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hadits-hadits
tersebut merupakan dalil-dalil yang jelas mengenai anjuran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk bercocok tanam, karena di dalam bercocok tanam
terdapat 2 manfaat yaitu manfaat dunia dan manfaat agama.
Pertama:
Manfaat yang bersifat Dunia (dunyawiyah) dari bercocok tanam adalah
menghasilkan produksi (menyediakan bahan makanan). Karena dalam bercocok tanam,
yang bisa mengambil manfaatnya, selain petani itu sendiri juga masyarakat dan
negerinya. Lihatlah setiap orang mengkonsumsi hasil-hasil pertanian baik
sayuran dan buah-buahan, biji-bijian maupun palawija yang kesemuanya merupakan
kebutuhan mereka. Mereka rela mengeluarkan uang karena mereka butuh kepada
hasil-hasil pertaniannya. Maka orang-orang yang bercocok tanam telah memberikan
manfaat dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia. Sehingga hasil
tanamannya menjadi manfaat untuk masyarakat dan memperbanyak
kebaikan-kebaikannya.
Sekedar
tambahan “Bahkan manfaatnya bukan sebatas penyedian makanan bagi orang lain
saja tetapi juga dengan bercocok tanam juga menjadikan lingkungan menjadi lebih
sehat untuk manusia dimana udara menjadi segar karena tanaman menghasilkan
oksigen yang diperlukan oleh manusia untuk proses pernafasan. Tanaman berupa
pepohonan juga memberikan kerindangan bagi orang-orang yang berteduh di
bawahnya, kesejukan bagi orang yang ada di sekitarnya. Tanaman juga menjadikan
pemandangan alam yang enak dan indah dipandang. Lihatlah hamparan tanah yang
dipenuhi oleh tanam-tanaman tentunya hati dibuat senang melihatnya, perasaan
pun menjadi damai berada di dekatnya. Adapun bila melihat hamparan tanah yang
kering dan gersang dari tanaman-tanaman tentu lah kita memperoleh perasaan yang
sebaliknya.”
Kedua:
Manfaat yang bersifat agama (diniyyah) yaitu berupa pahala atau
ganjaran. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apabila dimakan oleh manusia,
binatang baik berupa burung ataupun yang lainnya meskipun satu biji saja,
sesungguhnya itu adalah merupakan sedekah bagi penanamnya, sama saja apakah dia
kehendaki ataupun tidak, bahkan seandainya ditakdirkan bahwa seseorang itu
ketika menanamnya tidak memperdulikan perkara ini (perkara tentang apa yang
dimakan dari tanamannya merupakan sedekah) kemudian apabila terjadi tanamannya
dimakan maka itu tetap merupakan sedekah baginya.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa seorang muslim akan mendapat pahala dari hartanya yang
dicuri, dirampas atau dirusak dengan syarat dia tetap bersabar dan menyerahkan
segala sesuatunya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dari
ketiga hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa perbuatan yang dilakukan
seorang muslim yang pada hakekatnya hanya berupa sebuah hal yang mubah, yaitu
bercocok tanam tetapi pelakunya dapat memperoleh pahala. Walaupun itu asalnya
bukan suatu ibadah tapi bisa bernilai ibadah dan akan mendapat pahala. Berbeda
dengan orang kafir segala perbuatannya tidak bernilai di sisi Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, walaupun mereka mereka mengklaim beribadah setiap bulan, setiap
pekan, setiap hari bahkan setiap sa’at tidaklah dianggap disisi Allah Subhanahu
Wa Ta’ala sebagai suatu ibadah. Maka hadits ini merupakan dalil
keutamaan memeluk agama islam dan meruginya menjadi orang kafir.
Sesungguhnya
segala perkara perkara bagi seorang muslim adalah bisa bernilai ibadah dan
mempunyai kebaikan sebagaiman hadits dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Rodhiyallohu
‘Anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi Wa Sallam:
عَجَبًا
لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَ لَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ
إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ, وَ
إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Menakjubkan
pada perkara seorang mukmin sesungguhnya perkaranya semuanya baginya adalah
kebaikan, dan tidaklah itu didapatkan melainkan oleh seorang mukmin: jika dia
mendapatkan kesenangan (nikmat) dia bersyukur maka itu adalah kebaikan baginya
dan jika kesulitan (musibah) menimpanya kemudian dia bersabar maka itu adalah
kebaikan baginya.”(HR. Imam
Muslim lihat kitab Riyadhush Shalihin hadits no.27)
Syaikh
Utsaimin rohimahulloh juga menambahkan bahwa perkara ini
memang menakjubkan. Yaitu seandainya ada seorang pencuri mencuri tanaman
seseorang, misalnya ada seorang datang ke sebatang pohon kurma kemudian mencuri
kurma. Maka bagi si pemilik kurma justru memperoleh pahala atas peristiwa
pencurian kurma tersebut. Meskipun di sisi lain sekiranya dia mengetahui siapa
pencurinya maka dia harus dilaporkan ke pihak berwajib.
Mengapakah
bisa semua hasil tanaman yang ditanam itu merupakan sedekah? Ini tidaklah
bertentangan bahkan sesuai dengan kaidah agama yaitu kaidah bahwa seseorang
tidak akan memperoleh kebaikan (pahala atau ganjaran) kecuali atas hasil
usahanya sendiri, demikian juga sebaliknya seseorang tidak akan menanggung dosa
orang lain. Maka kalau kita perhatikan tanaman kita merupakan hasil usaha yang
baik yang akan menjadi sedekah walaupun dimakan atau diambil tanpa seizin kita.
Betapa
bagusnya penjelasan Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah berikut:
“Apabila kita telah memahami kaidah ini maka terjawablah pertanyaan dan
tersingkaplah kemusykilan-kemusykilan serta lapang lah dada dalam memahami
ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan memperoleh
kebaikan (pahala dan ganjaran) kecuali atas hasil usahanya sendiri. Diantaranya
ialah ayat yang masyhur dibawah ini:
وَ
أَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seseorang itu tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali dari hasil
usahanya sendiri.” (QS.
An Najm: 39).
Ayat
di atas merupakan kaidah ilmiyyah yang umum dan tetap di dalam keumumannya dan
tidak menerima pengecualian (takhshish) yang memang tidak ada sama sekali:
bahwa seorang tidak akan memperoleh pahala atau ganjaran kecuali atas hasil
usahanya sendiri.
Seperti
seseorang menanam sebuah pohon atau tanaman, maka apa saja yang dimakan dari
buah pohon tersebut atau tanaman tersebut yang ditanam, baik dengan seizin
pemiliknya atau dicuri, baik (dimakan) oleh manusia atau hewan niscaya
pemiliknya atau yang menanamnya tetap akan memperoleh ganjaran.”
Sesungguhnya
tanaman yang dicuri atau dirusak ataupun juga dimakan hewan merupakan hasil
usaha dari petani maka pantas lah kalau dia mendapat ganjaran dari tanaman yang
luput dari tangannya (tidak bisa dia panen).
Referensi:
-Shahihul
Bukhari jilid 3. 1415 H. Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari.
Darul Fikr: Bairut, Libanon.
-Riyadhush
Shalihin. 1421 H. Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf An-Nawawi. Darul
Fikr: Bairut, Libanon.
-Syarhu
Riyadhish Shalihin Libnil Utsaimin jilid 1. 1424 H. Maktabah Ibnu
Jarir.
-Menanti
Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti oleh Ustadz Abdul Hakim bin
Amir Abdat.
Dari
kitab silsilah Al-Ahaadits As-shahihah hadits no.9
Hadits
yang diriwayatkan Anas Radhiyallohu ‘Anhu dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنْ
قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ
تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya
hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian
ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat
maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam
Ath-Thayalisi no.2068, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan
Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari
Anas Radhiyallahu ‘Anhu).
Al-Fasiilah
adalah pohon kurma yang masih kecil istilah lainnya adalah Al-Wadiyyah.
Dan
telah meriwayatkan Dawud dengan sanad yang shahih, dia berkata: :
“Abdullah bin Salam Rodhiyallahu ‘Anhu berkata kepadaku:
إِنْ
سَمِعْتَ بِالدَّجَالِ قَدْ خَرَجَ وَ أَنْتَ عَلَى وَدِيَّةٍ تَغْرِسُهَا, فَلاَ
تَجْعَلْ أَنْ تُصْلِحَهُ, فَإِنَّ لِلنَّاسِ بَعْدَ ذَلِكَ عَيْشًا
“Jika
engkau mendengar bahwa Dajjal telah keluar sedangkan kamu sedang menanam bibit
kurma maka janganlah kamu tergesa-gesa dalam penanamannya, karena masih ada
kehidupan setelah itu bagi manusia.”
Ibnu
Jarir rahimahullah telahmeriwayatkan sebuah hadits yang
berasal dari Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata: “Saya
mendengar Umar Bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata
kepada ayahku: ’Apa yang menghalangimu untuk menanami tanahmu? Ayah saya
menjawab: ‘Saya sudah tua dan besok juga mati.’ Kemudian Umar berkata: ‘Aku
berharap agar engkau mau menanaminya.’ Sungguh aku melihat Umar bin
Khaththab menanam tanah tersebut bersama ayahku.” Begitulah di Al-Jami’al
Al-kabir karya Imam As-Suyuti.
Selanjutnya
Syaikh Al-Albani rohimahulloh menjelaskan: “Oleh karena itu
ada sebagian sahabat yang menganggap bahwa orang yang bekerja untuk mengolah
dan memanfaatkan lahannya adalah karyawan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Al- Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Al-Adabul Mufrad hadits no.
448 meriwayatkan sebuah hadits dari Nafi’ bin Ashim bahwa dia mendengar
Abdullah bin Amr berkata kepada salah seorang anaknya yang keluar ke tanah lapang
(kebun): “Apakah para karyawanmu sedang bekerja?”
Lalu
Abdullah bin Amr menyambung: “Seandainya engkau orang yang terdidik, niscaya
kamu akan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan oleh para karyawanmu.”
Kemudian Abdullah bin Amr menoleh kepada kami, seraya berkata: “Jika seseorang
bekerja bersama para karyawannya dirumahnya.” (Dalam kesempatan lain, perawi
berkata: “Pada apa yang dimilikinya”), maka ia termasuk karyawan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, Insya Allah sanad hadits ini hasan.
Kata Al-Wahthu disini
berarti Al-Bustan yaitu tanah lapang yang luas milik Amru Bin
Ash Rodhiyallohu ‘Anhu yang berada di Tha’if, kurang lebih
tiga mil dari Wajj. Tanah itu telah diwariskan kepada anak-anaknya (termasuk
kepada Abdullah bin Amr rodhiyallohu ‘Anhuma). Ibnu Asakir
meriwayatkan di dalam kitabnya At-Tarikh (13/264/12) dengan sanad yang shahih
dari Amru bin Dinar, ia mengatakan: “Amru bin Ash berjalan melalui sebidang
kebun miliknya dengan satu juta kayu yang dipergunakan untuk menegakkan pohon
anggur. Satu batangnya dibeli dengan harga satu dirham. Itulah beberapa
perkataan sahabat rodhiyallohu ‘anhum yang muncul akibat
memahami hadits-hadits diatas.
Sumber:
Kitab Silsilah Al-Ahaadiits As-Shahiihah, maktabah syamilah