Satu hal yang sangat mengesankan dari Negara Jepang adalah betapa mereka sangat menghargai hasil bumi berupa umbi-umbian. Menghargai ubi, tidak sekedar memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Lebih dari itu ini merupakan perwujudan nyata dari kata "Terima Kasih" pada sang pencipta ubi yang notabene juga "sang pemberi hidup" kita. Mungkin ini salah satu jawaban dari kebingungan , mengapa Tuhan begitu sayang sehingga memberikan kemakmuran luar biasa pada negeri Matahari Terbit. Tidak ada ciptaan Tuhan yang patut disepelekan, semua diciptakan untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebaik-baiknya.
kita dapat membandingkan dengan bagaimana masyarakat kita di Indonesia memperlakukan umbi umbian dalam budaya komsumsi sehari-hari. Umbi-umbian di Indonesia terhitung sangat banyak ragamnya, ubi jalar, ketela pohon, dan berbagai macam talas. Di masyarakata kita, umbi-umbian cenderung menjadi makanan kelas bawah, dengan harga yang cenderung jauh lebih murah daripada sumber karbohidrat utama, misalnya beras. Harga beras bisa mencapai 10 000 per kg sementara harga ubi hanya 2500 per kg bahkan kadang bisa mencapai 1500 per kg. Bandingkan harga ubi dan beras di Jepang yang relativ sama hingga 45 000 per kg. Relatif sama, sehingga muncul pula sikap penghargaan yang sama baik terhadap ubi maupun beras. Di Jepang baik petani ubi maupun petani beras sama sama makmurnya. Seperti keluarga Sumitomo yang tinggal di daerah Kawauchi Tokushima, sebagai petani ubi mereka juga mampu untuk berlibur ke pulau Bali. Mereka juga memiliki unit cold storage untuk penyimpanan hasil panen ubi, disamping bangunan 2 lantai yang dilengkap lift untuk gudang carton box pengemas ubi. Semua ini berawal dari begitu selayaknya masyarakat Jepang dalam menghargai ubi. Bandingkan lagi dengan kenyataan di Indonesia, yang memunculkan stigma resmi bahwa ubi adalah makanan pokok dari daerah miskin.
Dengan set menu Jepang di sebuah resto di Miyajima. Satu set terdiri dari 12 jenis masakan, dengan porsi yang serba sedikit. Lengkap baik dari hewani, ikan,ayam dan daging, juga sumber nabatinya. Semua disajikan dengan teramat cantiknya, Ada 2 hidangan yang sangat mengesankan, yang pertama adalah kabocha atau labu parang kukus, sangat cantik dengan rasa sederhana, dengan potongan menyerupai daun momiji. Satu jenis lain dengan potongan berbentuk seperti lampion kecil, sangat elegant, setelah di makan, upps ternyata talas, yang apabila dimakan seperti mengeluarkan lendir. sangat mengesankan, talas yang sedemikian tidak berharganya di Indonesia bisa tampil sedemikian cantiknya. Di Jepang, umbi seperti ini disebut sebagai sato imo. Di Indonesia bila diibandingkan dengan ubi, talas berlendir ini malah menempati kelas yang lebih bawah lagi.
Kita mungkin akan terkaget-kaget melihat sebuah papan iklan besar menawarkan ubi bakar, dengan gambar yang sangat provokatif, ubi bakar yang merekah ubinya dengan kepulan asap yang menujukkan hangatnya ubi, jangan tanyakan harganya, kira-kira 35 ribu per pcs apabila di rupiahkan. Ketika bulan puasa, apabila berjalan-jalan di mall Sogo Tokushima, beberapa ibu-ibu sedang bergerombol menikmati bekalnya. ketika di dekati, upps lagi lagi ubi rebus sedang mereka nikmati. Hal yang mungkin sangat jarang terjadi di di Indonesia. Bahkan info yang sangat akurat menyebutkan bahwa ubi adalah salah satu side dish tetap di menu-menu catering di rumah sakit di Jepang. Pada tataran ini, ubi sudah masuk sebagai barang industri dengan pengawasan mutu yang teramat ketat. Ada juga daigaku imo yang cukup popular, atau imobo, stick ubi goreng dengan coating caramel lengkap dengan taburan wijen, Bahkan di Stasiun Kereta Api Tokushima, ada banyak sekali toko yang menyediakan berbagai macam kudapan berbahan ubi, termasuk, es krim, dan minuman kaleng dari ubi. Juga boneka-boneka berkarakter ubi.
Dengan demikian, tentu saja anda tidak perlu ragu lagi betapa ubi sangat dihargai dan mempunyai kelas yang sama dengan makan lain di Jepang.
Jadi, memang sudah mengakar kuat di Jepang bahwa ubi bukanlah makanan yang bisa disebut sebagai kelas bawah. Bukan sekedar pengganjal perut mengganti nasi, apalagi sebagai makanan orang miskin yang tidak mampu membeli beras. Lebih dari itu di Jepang ubi sudah menjadi barang industri dengan riset dan pengembangan yang terus menerus baik dari teknologi budidaya, teknologi proses hingga marketing yang saling terkait dan mendukung. Mari mulai menghargai ubi, karena Tuhan menciptakan ubi, pasti bukan untuk disepelekan, menghargai dan berusaha mengembangkannya menjadi semakin baik, adalah wujud rasa syukur yang lebih baik kepada penciptanya.
Oleh:
Iwan Rianto
Sumber : http://www.denpasar.id.emb-japan.go.jp
Set menu Jepang, ada talasnya!
kita dapat membandingkan dengan bagaimana masyarakat kita di Indonesia memperlakukan umbi umbian dalam budaya komsumsi sehari-hari. Umbi-umbian di Indonesia terhitung sangat banyak ragamnya, ubi jalar, ketela pohon, dan berbagai macam talas. Di masyarakata kita, umbi-umbian cenderung menjadi makanan kelas bawah, dengan harga yang cenderung jauh lebih murah daripada sumber karbohidrat utama, misalnya beras. Harga beras bisa mencapai 10 000 per kg sementara harga ubi hanya 2500 per kg bahkan kadang bisa mencapai 1500 per kg. Bandingkan harga ubi dan beras di Jepang yang relativ sama hingga 45 000 per kg. Relatif sama, sehingga muncul pula sikap penghargaan yang sama baik terhadap ubi maupun beras. Di Jepang baik petani ubi maupun petani beras sama sama makmurnya. Seperti keluarga Sumitomo yang tinggal di daerah Kawauchi Tokushima, sebagai petani ubi mereka juga mampu untuk berlibur ke pulau Bali. Mereka juga memiliki unit cold storage untuk penyimpanan hasil panen ubi, disamping bangunan 2 lantai yang dilengkap lift untuk gudang carton box pengemas ubi. Semua ini berawal dari begitu selayaknya masyarakat Jepang dalam menghargai ubi. Bandingkan lagi dengan kenyataan di Indonesia, yang memunculkan stigma resmi bahwa ubi adalah makanan pokok dari daerah miskin.
perhatikan bentuk, dan warnanya
Dengan set menu Jepang di sebuah resto di Miyajima. Satu set terdiri dari 12 jenis masakan, dengan porsi yang serba sedikit. Lengkap baik dari hewani, ikan,ayam dan daging, juga sumber nabatinya. Semua disajikan dengan teramat cantiknya, Ada 2 hidangan yang sangat mengesankan, yang pertama adalah kabocha atau labu parang kukus, sangat cantik dengan rasa sederhana, dengan potongan menyerupai daun momiji. Satu jenis lain dengan potongan berbentuk seperti lampion kecil, sangat elegant, setelah di makan, upps ternyata talas, yang apabila dimakan seperti mengeluarkan lendir. sangat mengesankan, talas yang sedemikian tidak berharganya di Indonesia bisa tampil sedemikian cantiknya. Di Jepang, umbi seperti ini disebut sebagai sato imo. Di Indonesia bila diibandingkan dengan ubi, talas berlendir ini malah menempati kelas yang lebih bawah lagi.
talas, rengkong, dan jagung baby
Es Krim Ubi
Jadi, memang sudah mengakar kuat di Jepang bahwa ubi bukanlah makanan yang bisa disebut sebagai kelas bawah. Bukan sekedar pengganjal perut mengganti nasi, apalagi sebagai makanan orang miskin yang tidak mampu membeli beras. Lebih dari itu di Jepang ubi sudah menjadi barang industri dengan riset dan pengembangan yang terus menerus baik dari teknologi budidaya, teknologi proses hingga marketing yang saling terkait dan mendukung. Mari mulai menghargai ubi, karena Tuhan menciptakan ubi, pasti bukan untuk disepelekan, menghargai dan berusaha mengembangkannya menjadi semakin baik, adalah wujud rasa syukur yang lebih baik kepada penciptanya.
Oleh:
Iwan Rianto
Sumber : http://www.denpasar.id.emb-japan.go.jp
0 comments:
Post a Comment